Pada umumnya hobbies di Indonesia lebih mengenal burung Murai Batu pada satu jenis saja, yaitu sub-spesies Copsychus Malabaricus Tricolor (White-rumped Shama). Sub-spesies ini mempunyai corak tiga warna, yaitu hitam, coklat dan putih. Warna dominan pada kepala, leher punggung dan ekor umumnya berwarna hitam. Warna dada dan perut berwarna coklat, sedangkan punggung bagian bawah (pantat) dan bulu ekor sekunder berwarna putih.
Sub spesies Copsychus Malabaricus Tricolor (White rumped Shama)
Sub spesies ini paling banyak ditemukan di P. Jawa dan P. Sumatera. Karena perbedaan habitat dan letak geografi masing-masing tempat yang berbeda-beda, maka sub spesies inipun mempunyai perbedaan fisik yang mencolok. Untuk Murai Batu yang hidup di Pulau Jawa, masyarakat local lebih mengenal dengan sebutan burung Larwo (Copsycus Malabaricus Tricolor-Javanus). Burung jenis ini sudah diindikasikan sangat langka (mungkin juga sudah punah).
Sementara sub spesies yang hidup disekitar selat sunda, Krakatau, pesisir dan pedalaman lampung, masyarakat mengenal dengan nama Murai Batu Lampung. MB ini mempunyai panjang ekor kira-kira 10 cm – 12 cm. Bagi para hobbies yang sering mengikuti kompetisi burung berkicau, jenis ini kurang diminati. Beberapa beralasan bahwa MB jenis ini bermental rendah dan kicauannya kurang bagus.
Foto: Murai Lampung
Untuk kepentingan lomba atau kompetisi burung berkicau, para hobbies di Indonesia lebih menyukai MB Jambi. Mereka beralasan selain kemerduan suaranya, burung jenis ini mempunyai stamina dan gerakan ekornya yang indah. Mungkin mereka benar karena struktur tubuhnya yang sedang dengan panjang ekor berkisar antara 14 cm – 17 cm memungkinkan burung tersebut bergerak lincah dan tidak terbebani dengan berat dan panjang ekornya. MB Jambi secara alamiah hidup disekitar Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Kepulauaan Mentawai & Siberut serta semenanjung Bukit Barisan.
Foto: Murai Jambi
Jenis lainnya adalah Murai Batu Medan atau Murai Batu Aceh, sebenarnya sebutan MB Medan adalah sebutan untuk MB yang berasal dari Provinsi Aceh dan daerah sekitarnya. Sebutan ini melekat karena pusat perdagangan terbesar dan pengepul ada di daerah Medan, tepatnya Pasar Burung Bintang. Di Provinci ini juga hidup berbagai jenis murai batu yang lainnya, salah satunya adalah MB ekor Hitam dan Jenis ini lainya mempunyai body lebih besar dan ekor yang cukup panjang sekitar 20 cm – 25 cm dan yang mempunyai ekor lebih panjang lagi yaitu sekitar 25cm – 30cm. MB Medan dan MB Aceh sangat diminati, bahkan sudah menjadi hewan peliharaan yang paling favorit. Selain suaranya yang merdu, penampilannya pada saat berkicau sangat atraktif, yaitu kemampuan mengayun-ayunkan ekornya (nge-fl) Meskipun demikian MB jenis ini jarang sekali diturunkan atau dibawa oleh para hobies arena kompetisi.
Foto: Murai Medan
Jenis Murai Batu lain yang berekor panjang selain ditemukan di provinsi Aceh, juga ditemukan di Penang, Malaysia, Burma, Kamboja, Myanmar dan Thailand. Secara fisik bentuknya sama, perbedaanya barangkali pada tebal tipis ekornya saja. Murai Batu di Malaysia relatif mempunyai ekor yang panjang dan tipis, berpostur agak kecil. Sedangkan Murai Batu yang paling dicarai oleh hobbies dari Singapura dan Malaysia adalah Murai Batu yang hidup diperbatasan Thailand dan Malaysia. Walaupun secara fisik bodynya lebih kecil dari Murai Batu Aceh, tetapi memiliki ekor r yang lebih panjang dan warna hitamnya agak mengkilat dan berwarna indigo (kebiruan).
Perhatikan dengan seksama perbedaan foto Murai Batu berikut:
Foto: Koleksi David
Foto: Koleksi David
Foto: Koleksi David
Foto: Koleksi David
Sub –spesies Copsychus Malabaricus Melanurus (Black-tailed Shama)
Sub-spesies ini di Indonesia dikenal dengan sebutan Murai Nias atau Murai Batu Nias, karena populasi dan habitatnya kebanyakan ada di P. Nias dan daerah sekitarnya. Burung ini juga ditemukan disebagian wilayah provinsi Aceh. Selain bersuara merdu, burung ini juga tidak terlalu agresif sehingga bagi para hobbies yang ingin mengembang-biakan burung ini, relatif lebih mudah dibandingkan dengan jenis lain yang mempunyai tiga warna. Hewan ini relatif lebih sayang terhadap anak-anaknya, sehingga jarang ditemukan kasus indukan Murai Nias membunuh anaknya sendiri.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, burung jenis ini susah sekali ditemukan atau dipelihara oleh para hobies di Indonesia. Hal ini ada berbagai faktor:
1. Faktor Tujuan Kompetisi
Karena sistem penjurian lebih mengedepankan aspek suara dan mental, para hobbies di tanah air, kurang menyukai burung ini karena kurangnya agresifitas pada saat dilombakan, mereka lebih menyukai burung dengan tipe agresif (fighter).
2. Faktor Exodus Perdagangan
Burung jenis ini merupakan burung yang popular dan paling dicari di Malaysia dan Singapura. Karena sistem kompetisi mereka berbeda dengan di Indonesia, minat mereka untuk memiliki sangat tinggi. Hal ini disebabkan burung ini mudah jinak dan bersuara sangat merdu dan variatif, sehingga cocok untuk dijadikan binatang peliharaan dirumah. Hal inilah yang mendorong pedagang dan pengepul burung melakukan ekspor besar-besar ke sana. Harga per ekor untuk ukuran panjang ekor 10cm-20 cm sekitar US$200.00. Bahkan pernah ditemukan ada yang mempunyai panjang ekor 25cm-30 cm, tetapi kualitas suaranya jauh dari yang pertama.
Foto: Koleksi Pribadi
Sub–spesies Copsycus luzoniensis (White-browed Shama)
Habitat ditemukan Philipina
Sub-spesies Copsychus M. Stricklandii (White-capped Shama)
Ada dua jenis. Habitatnya di P. Borneo (Kalimantan-Indonesia), Sarawak dan Sabah (Malaysia).
Ekor Coklat
Dan
Ekor Hitam & Putih
Sub-spesies Copsychus Niger (White-vented Shama)
Habitat: Sabang, Palawan-Philipina
Sub-spesies Copsycus Cubuensis (Black shama)
Habitat: Philipina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar